
Pertumbuhan kota yang tak henti, bersama meningkatnya populasi dan aktivitas, melahirkan timbulan sampah yang kian besar dan kompleks. Beragam regulasi dan standar memang telah tersedia, tapi kenyataannya lebih dari separuh sampah di Indonesia masih berakhir tanpa pengelolaan: Menyusup ke tanah, air, dan udara. Dampaknya terasa nyata, mulai dari pencemaran, bencana, hingga krisis sosial seperti tragedi Leuwigajah. Padahal, konsep Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sejatinya menegaskan bahwa sampah tidak semata dibuang, tapi diproses agar kembali ke lingkungan, melalui tahapan pengurangan, pemilahan, pengolahan, hingga pemrosesan akhir. Namun, mewujudkan TPA yang ideal bukan perkara mudah. Keterbatasan lahan, investasi yang besar, resistensi masyarakat, hingga kapasitas kelembagaan yang belum merata, masih menjadi batu sandungan. Tak sedikit daerah yang masih bergantung pada open dumping yang sebenarnya sudah dilarang. Sementara itu, upaya menuju solusi lebih hijau mulai dirintis: Sanitary landfill, landfill mining, hingga teknologi RDF dan PLTSa. Jalan panjang pengelolaan sampah ini hanya bisa ditempuh melalui kolaborasi erat antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Dengan begitu, sampah bukan jadi beban, tapi peluang untuk menghadirkan kota yang lebih sehat, berkelanjutan, dan layak huni bagi semua.